GKI Klasis Solo
GKI Wonogiri
Sejarah singkat
Kisah berdirinya GKI Wonogiri ternyata berawal dari rumah sakit Mangkubumen Solo, ketika salah seorang pasiennya bernama Ny. Kho Hok Sioe dirawat. Selama perawatannya, beliau ditemani oleh Sdri. Sie King Nio, seorang siswi sekolah Zending Kristen di Solo. Ny. Kho Hok Sioe tak hanya ditemani, melainkan juga dihibur dan mendengar berita tentang Injil Tuhan Yesus, Sang Tabib Agung dan Juru Selamat dunia. Persahabatan itu berlanjut, kendati Ny. Kho Hok Sioe telah kembali ke rumahnya di Wonogiri.
Pada bulan Oktoner 1942, bersama Sdri. Tan Bie Djie, Sdri. Sie King Nio mengunjungi Ny. Kho Hok Sioe di rumahnya. Percakapan itu menghasilkan sebuah niat untuk mengadakan perkumpulan Agama Kristen untuk orang-orang Tionghoa di Wonogiri dan Ny. Kho Hok Sioe menyediakan rumahnya. Niat tersebut diwujudkan seminggu kemudian dan selanjutnya kumpulan itu diadakan secara rutin dan dihadiri oleh para wanita. Ketika hal ini di dengar oleh Sdr. Yap Kiat Hong, satu-satunya pria Tionghoa Kristen, beliau segera meminta, agar Sdri. Sie King Nio menghubungi KTKH Sangkrah Solo untuk mengutus tenaga pria, karena beliau pun bersedia mengumpulkan para pria Tionghoa. Majelis Jemaat KTKH Sangkrah Solo mengutus Pdt. Kwee Tiang Hoe untuk melayani kumpulan itu pada tanggal 25 Februari 1943 dengan meminjam tempat di GKJ Sanggrahan. Kumpulan yang pertama itu dihadiri oleh 24 orang wanita dan 8 orang pria dengan bahan bacaan Alkitabnya terambil dari I Yohanes 1:5-10. Berikutnya KTKH Sangkrah Solo mengutus Sdr. Siem Tjien Hie untuk melayani kebaktian dan katekisasi secara rutin yang diikuti oleh 12 orang wanita dan 5 orang pria.
Tempat kebaktiannya kemudian dipindahkan ke rumah milik keluarga Sdr. Yap Tjong Twan di sebelah Selatan Pasar Wonogiri. Untuk pertama kalinya diadakan perayaan Natal pada tanggal 24 Desember 1943 yang dipimpin oleh Pdt. Kwee Tiang Hoe dan Sdr. Siem Tjien Hie, juga disertai paduan suara ‘Suara Sion’. Memasuki tahun 1944, tepatnya tanggal 6 Februari 1944, Pdt. Kwee Tiang Hoe melayani sakramen baptis untuk 6 orang dewasa dan 4 orang anak. Mereka yang dibaptis adalah Ny. Kho Hok Sioe, Sdr. Kho Gwan Tjiang dan beserta kedua anak mereka, Kho Ping Kwie dan Kho Mei Lan, Ny. Yap Kiat Hong beserta kedua putrinya, Yap Giok Swan dan Yap Siok Swan (Sdr. Yap Kiat Hong telah lebih dulu menjadi Kristen), Ny. Kwik Soei Jang dan Sdri. Kho Bwee Nio. Selanjutnya, diadakan pelayanan Sekolah Minggu sejak tanggal 21 Mei 1944 yang dihadiri 8 orang anak dengan guru Sekolah Minggu-nya Sdri. Kho Bwee Nio.
Perayaan Natal untuk kedua kalinya diadakan pada tanggal 24 Desember 1944, yang dilayani oleh Sdr. Siem Tjien Hie dan Sdr. Siem Tjien Hing, seorang guru SR Tionghoa Wonogiri. Demi kelancaran pelayann jemaat, maka pada tahun 1945 dibentuk Panitia Gereja yang terdiri dari Sdr. Kho Gwan Tjang, Sdr. Yap Kiat Hong dan Sdr. Siem Tjien Hing. Pada tahun 1946, pelayanan katekisasi dilakukan oleh Sdr. Tan po Djwan (Paulus Tanoewidjaja), guru Injil KTKH Sangkrah Solo, sedang pelayanan kebaktian Minggu meminta bantuan Pdt. Mitrotanojo dari GKJ Sanggrahan. Sementara itu, Sdr. Siem Tjing Hin pindah dari Wonogiri, sehingga anggota panitia tinggal berdua saja.
Terjadilah Agresi Belanda I (1947) dan Agresi Belanda II (1948) yang mengguncangkan penduduk Wonogiri. Ternyata suasana mencekam ini justru membantu pertumbuhan gereja sebab pengunjung kebaktiannya meningkat dari sekitar 20 orang menjadi 30 orang. Pelayanan yang selama ini dilakukan oleh KTKH Sangkrah Solo tak lagi lancar. Namun demikian, syukur ada seorang pengerja GKJ dari Jawa Timur, yakni Bpk. Harsono, yang membantu melayani sampai bulan Oktober 1949.
Pada medio 1950, Sdr. Yap Kiat Hong sekeluarga pindah pula, namun syukur KTKH Sangkrah Solo menghadirkan Sdr. Liem Tong Hwa (Thomas Budiadi Lemuel) sebagai guru Injil di Wonogiri sejak tanggal 25 Oktober 1950. Sejak saat itu jumlah pengunjung kebaktian meningkat lagi dan jumlah anggota Panitia Gereja pun bertambah menjadi 5 orang. Seiring dengan pertumbuhan jumalah anggota jemaat, maka tempat kebaktiannya pun sejak tanggal 27 Mei 1951 pindah lagi ke rumah yang dipinjamkan oleh keluarga Yap Kiat Hong. Untuk menggairahkan kehidupan rohani jemaat, diadakan KKR yang dilayani oleh Pdt. J.M. Vlijm pada tahun 1953. Kemudian, untuk melengkapi sarana kebaktian, dibeli organ merk Mannborg dengan harga Rp. 2.500,-. Sayang, sejak 1 Maret 1957, Sdr. Liem Tong Hwa memenuhi panggilan jemaat GKI Madiun dan pelayanan di tengah jemaat Wonogiri digantikan oleh guru Injil Oei Djie Kong (N.E. Jeshua) dari GKI Sangkrah Solo. Kendati jemaat GKI Wonogiri berstatus cabang, namun semangat mereka dalam memberitakan Injil sampai ke Baturetno, 20 km arah ke Selatan. Melalui dua orang saudari yang semula berasal dari gereja Pantekosta Kediri, mereka mengadakan kebaktian yang pertama di sana pada tanggal 11 Oktober 1962 dan selanjutnya pelayanan kebaktian dilakukan dalam kerja sama dengan GKJ.
Atas karunia Tuhan, jemaat menerima persembahan sebidang tanah di Jl. Kajen dari Sdr. Kho Ping Kwie, yang kemudian dibangun gedung gereja di atasnya. Sekali lagi, pada tanggal 28-30 Oktober 1962 jemaat mengadakan KKR yang dilayani oleh Pdt. Oei Liang Bie (Obaja) dari Surabaya dan dihadiri oleh sekitar 400 orang. Kemudian jemaat untuk memperoleh pengerja baru terwujud dengan kehadiran Sdr. Kwik Liong Thay pada tahun 1962, namun pelayanan beliau hanya berlangsung hingga 10 Februari 1963. Karena itu jemaat menantikan lagi seorang pengerja yang terpenuhi dengan kehadiran guru Injil Sie Tiang Tjwan (Silas Dwidjomaladyo) sejak November 1963.
Hasrat untuk menjadi jemaat dewasa cukup menggebu. Hal ini tampak ketika pada tanggal 17 September 1963 berhasil merampungkan pembangunan sebuah pastori, yang disusul dengan rencana membangun gedung gereja. Bayang-bayang defisit keuangan jemaat tak menjadi penghalang untuk menlanjutkan pembangunan gedung gereja. Sebaliknya hal itu, justru menjadi pendorong untuk lebih giat lagi dalam pelayanan jemaat. Tercetuslah sebuah usul dari Bapak Kho Gwan Tjiang dalam rapat Panitia Gereja, agar mengajukan usul kepada gereja induk untuk mendewasakan cabang Wonogiri. Tentu saja jika usul ini disetujui oleh Klasis Yogya dan dilaksanakan bersamaan dengan peresmian gedung gereja yang baru. Ternyata usul ini disetujui, sehingga terlaksanalah pada tanggal 12 Agustus 1964 pendewasaan jemaat GKI Wonogiri sekaligus peresmian gedung gerejanya yang baru di Jl. Kajen 14 Wonogiri. Adapun Majelis Jemaatnya yang pertama terdiri dari Sdr. Kho Gwan Tjiang, Sdr. Ong Soe Gwan, Sdr. Lie Ik Siong, Sdr. Lie Ik Khiam, Sdr. Tan Bian Hwien, Sdr. Sie Tiang Tjwan, Ny. Ong Kiem Tiong, Ny. Yap Pik Lian, Ny. Tan Swie Hong, Ny. Ong Tay hok, Ny. Ong Ngo Kioe dan Ny. Tjhie Siong Tjhing, dengan konsulennya Pdt. Tan Tjioe Liang (Johanes Tjahjaputra) dari GKI Sangkrah Solo.
Pastori yang telah selesai dibangun itu baru dihuni pada tanggal 15 Oktober 1964 setelah Sdr. Sie Tiang Tjwan menikah pada bulan September 1964. Berikutnya, jemaat GKI Wonogiri yang masih muda itu untuk pertama kalinya mengikuti Persidangan ke-29 Klasis Yogya di GKI Purworejo pada tanggal 31 Agustus-1 September 1964.
Ada keputusan penting yang diambil pada rapat Majelis Jemaat tanggal 2 November 1964, yakni perayaan perjamuan kudus tidak lagi menggunkan gelas besar, melainkan gelas kecil, seragam dengan jemaat-jemaat lain di lingkungan GKI Jateng. Sementara itu, ranting Baturetno yang waktu itu berstatus sebagai cabang malahan layu, karena sebagian besar anggotanya berpindah ke kota lain. Untuk menyegarkan kehidupan rohani jemaat, Pdt. Dorothy Irene Marx dari Bandung, pada tanggal 1-4 januari 1966, diundang untuk memimpin KKR dengan tema ‘Terus Maju Ke Arah Kesempurnaan’, yang membawa banyak berkat bagi pengunjung. Berikutnya, Majelis Jemaat mulai merencanakan penahbisan Sdr. Sie Tiang Tjwan sebagai pendeta, yang diawali dengan ujian peremtoarnya dalam Persidangan ke-30 Klasis Yogya pada tanggal 24 Februari 1966 dan terlaksana pada tanggal 25 Mei 1966.
Untuk meningkatkan pelayanan PI, jemaat Wonogiri bekerjasama dengan GKJ Sanggrahan membentuk GERAPI (Gerakan Pengabaran Injil). Sayangnya, proyek bersama ini tak berlangsung lama karena pencetus ide dan penggeraknya banyak yang pindah. Sebelum GERAPI terhenti, pada tahun 1968, jemaat GKI Wonogiri berhasil meresmikan pos kebaktian di Ngadirojo, kurang lebih 8 Km dari Wonogiri, yang sempat dilayani oleh Sdr. Paulus Sawalman, yang hadir di sana sejak Februari 1981 hingga Oktober 1983. Kebaktian di sana dilangsungkan setiap hari Minggu pukul 12.00 tengah hari, yang mula-mula dengan bahasa Indonesia, namun kemudian dilayani dalam bahasa jawa dan dibantu oleh GKJ. Sebenarnya, pelayanan PI di sana dimulai ketika pada tahun 1965 dr. Oei Thiam Siang bersama Pdt. Silas Dwidjomaladyo, Bpk. Driyo Martono, Bpk. Soehardi dan Bpk. Soenardi mengadakan musyawarah untuk menyelenggarakan penyuluhan agama Kristen, yang bertempat di balai pengobatan. Pelayanan ini begitu berkembang, sehingga berhasil menghimpun 300 orang dengan menggunakan gudang kapuk. Selanjutnya, kebaktian diadakan di rumah Bpk. Soenardi, bahkan baptisan pertama terlaksana pada tanggal 29 Mei 1969 yang dilayani oleh Pdt. Silas Dwidjomaladyo. Kemudian, jemaat berhasil meresmikan sebuah gedung gereja baru pada tanggal 23 Desember 1978, yang bertepatan dengan perayaan Natal dan dilayani oleh Pdt. A.K. Jonathan. Dalam semangat kerja sama dengan GKJ Sukoharjo, pada tahun 1967 dibentuk pos kebaktian di Nguter. Pada tahun itu pula, atas saran Deputat Kerja Sinode GKI Jateng, jemaat membantu pelayanan pengurusan ganti nama bagi para WNI keturunan Tionghoa.
Tibalah saat yang menegangkan, karena pada medio 1967 jemaat GKI Kediri melayangkan surat panggilan kepada Pdt. Sie Tiang Tjwan (Silas Dwidjomaladyo) untuk melayani jemaat tersebut. Untuk sementara, beliau menolak panggilan itu dan baru memenuhinya setahun kemudian pada panggilan kedua, tepatnya pada tanggal 18 November 1968. Dengan demikian, terjadi kekosongan pendeta, sehingga jemaat meminta bantuan GKI Coyudan agar Pdt. S. Tandiowidagdo menjadi konsulennya.
Selanjutnya, Tuhan mengutus Sdr. A.K. Jonathan menggantikan Pdt. Silas Dwidjomaladyo untuk melayani jemaat Wonogiri pada tahun 1970. Pada tahun 1971 muncul rencana untuk memanggil beliau menjadi pendeta jemaat. Dalam Persidangan ke-38 Klasis Yogya pada akhir Mei 1972, beliau lulus ujian peremtoar dan ditahbiskan pada tanggal 25 September 1972. Kemudian secara berturut-turut, hadir pengerja wanita untuk meningkatkan pelayanan di kalangan orang-orang muda dan wanita. Mereka adalah Sdri. Esther Budi Setiawati (1975-1976), Ni Nyoman Sarathatiwangi (medio 1979-Mei 1981) dan Ibu Liestiati (September 1981-Agustus 1983). Sdr. Paulus Sawalman sejak 17 Oktober 1983 diberi tugas untuk melakukan pekerjaan administrasi kantor gereja menempati bekas pastori, yang dipindahkan untuk pemuda dan remaja. Sejak tanggal 11 Desember 1983, terbit Warta Gereja tertulis, kendati untuk proses pencetakannnya dilakukan di STM Pancasila melalui Bpk. Soewawie, seorang penatua yang juga guru di sekolah itu. Kemudian, pada tahun 1984 mulailah dibuat Program Kerja Tahunan untuk seluruh jemaat.
Sejak Lustrum I (tahun 1969), baru pada peringatan HUT ke-20, tanggal 12 Agustus 1984, dirayakan HUT GKI Wonogiri dengan mengundang Pdt. Thomas B. Lemuel untuk memimpin Kebaktian Syukur Nostalgia yang didampingi oleh para anggota Majelis Jemaat yang pertama. Selanjutnya, sekali lagi jemaat menghadapi kekosongan pendeta, karena Pdt. A.K. Jonathan menerima panggilan Gereja Gereformeerd Semarang pada tanggal 26 Agustus 1985 dan beliau meninggalkan jemaat pada tanggal 31 Desember 1985, setelah selama kurang lebih 14 tahun berada di tengah-tengahnya. Jemaat GKI Wonogiri sekali lagi meminta bantuan jemaat GKI Sorogenen untuk memperkenankan Pdt. Daniel Tandian (Tan Gwan Siang) menjadi konsulennya. Untuk mengatasi kekosongan pelayanan oleh pengerja, Sdr. Handoyo diminta untuk memimpin kelompok katekisasi pemuda/remaja. Baru pada April 1986 hadir seorang guru jemaat atas diri Sdr. Haryanto. Akhirnya, sampailah pada medio 1987, ketika jemaat GKI Wonogiri berhasil memanggil Pdt. Eddy Ridwanto, yang sebelumnya melayani GKI Coyudan cabang Masaran dan meneguhkannya sebagai pendeta jemaat pada tanggal 12 November 1987. Pada masa itu dibuka pos PI di Bakalan (24 Mei 1987) dan Kejo Kidul (16 Juni 1987), di mana keduanya terletak di wilayah Ngadirojo.
Pada tahun 1988 tercatat beberapa peristiwa penting, yakni dibentuknya Komisi Gerejawi pada tanggal 21 Februari, berakhirnya pelayanan Sdr. Haryanto pada bulan maret dan dimilikinya pastori, yang di bawahnya untuk kantor gereja, sedang lantai dua untuk kebaktian dan kegiatan pemuda/remaja yang diberi nama ’Immanuel’. Dalam perkembangan selanjutny, pada tanggal 29 Maret 1996, jemaat meresmikan pembangunan sebuah pastori baru di Jl. Arjuna I/7-A, Wonokerto, Wonogiri. Demikianlah wajah GKI Wonogiri, sebuah jemaat di kota ‘Plintheng Semar’ dengan waduk Gajah Mungkur-nya.
Pendewasaan
12 Agustus 1964Jadwal ibadah
Umum | 06.00; 17.00 |
Anak | 08.00 |
Statistik Anggota Jemaat
Sidi | Baptisan | ||
---|---|---|---|
Pria | Wanita | Pria | Wanita |
276 | 392 | 71 | 49 |
Total anggota jemaat | 788 |