GKI Klasis Solo
GKI Sangkrah Solo
Sejarah singkat
Pada dasawarsa pertama abad XX belum ada wadah khusus untuk orang-orang Kristen keturunan Tionghoa. Sebagai hasil pemberitaan Injil, orang-orang Tionghoa bergabung di GKJ Margoyudan, bahkan Sdr. Sie Siauw Tjong diteguhkan menjadi salah seorang penatuanya. Pemberitaan Injil dilakukan oleh pihak Zending melalui sekolah Christelijke Hollands Chinese School (HCS), yang dibuka pada tahun 1917 di Gemblengan. Namun demikian, karena kebanyakan dan mereka kurang fasih berbahasa Jawa kromo, sebagai bahasa yang dipakai di lingkungan jemaat tersebut, hal itu mendorong De Gereformeerde Kerk van Solo melakukan ‘Maleis Zendingwerk’ pada tahun 1925 untuk memberitakan Injil dalam bahasa Melayu yang pada praktiknya ditujukan kepada orang-orang Tionghoa. Kemudian, dibentuklah ‘Zendings-Commissie’ pada tahun 1930 yang dilayani oleh Bpk. Picauly dan dilanjutkan dengan bantuan Bpk. Pdt. Soeponohardjo dan Bpk. Boesono. Pelayanan kebaktian pagi diadakan di Purwodingratan, yang kemudian dipindahkan ke Sekolah Standard Kristen di Prayunan, sedangkan kebaktian malam diadakan di Christelijke Hollands Chinese School di Gemblengan. Kemudian, tempat kebaktian tersebut dipindahkan lagi ke Warungmiri, karena di sana telah dibangun Christelijke Maleis Chinese School dan dihadiri oleh sekitar 25-40 orang. Bahasa yang dipakai adalah bahasa gado-gado, yaitu bahasa Melayu Tionghoa yang sebenarnya berbeda dengan bahasa Melayu ‘resmi’. Itulah sebabnya, dirasakan perlu mencari pengerja yang dapat berbahasa campuran, sehingga terpilihlah Sdr. Kwee Tiang Hoe.
Pada tanggal 16 November 1930 Ibu Jo Kiem Hok menerima sakramen baptisan dan merupakan buah pertama di tempat itu. Tepat dua tahun kemudian, dibentuklah ‘Panitia Gereja’ yang terdiri dari Sdr. Kwee Tiang Hoe, Sdr. Ong An Kok, Sdr. Siauw Ing Tjwan, Sdr. Tan Sien Liong dan Sdr. The Tjiauw Bian. Merekalah yang merintis hadirnya Gereja Kristen Indonesia Sangkrah Solo di kemudian hari.
Kepanitiaan gereja di atas ternyata hanya berlangsung sebentar, karena pada tanggal 27 Oktober 1933 dibentuklah Majelis Jemaat yang terdiri dari Pnt. Jo Kiem Hok, Pnt. Tan Sien Liong, Dk. Ong An Kok dan Dk. The Tjiauw Bian (Johanes Purwosuwito), dengan guru Injil Kwee Tiang Hoe dan konsulen Pdt. P.H. van Eijk, yang kemudian diganti oleh Pdt. G.D. Kuyper. Adapun nama gerejanya adalah Maleis Gereformeerde Kerk, yang didasarkan pada keputusan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 7 Juli 1943 No. 28 dalam Staadsblad No. 406, yang kemudian berubah menjadi Kie Tok Kauw Hwee dan berganti lagi pada tahun 1956 menjadi Gereja Kristen Indonesia Sangkrah, Solo. Untuk membangun semangat rohani jemaat, diadakan KKR yang dilayani oleh Dr. John Sung pada Januari 1934 dan Rev. Dzao Sze Kuang pada Desember 1939. Pada tahun 1939 pula diselenggarakan Sekolah Minggu yang dilayani oleh para pemuda-pemudi yang sedang belajar di Kweekschool (sekolah guru). Didirikan juga Perkumpulan Wanita, ‘Streepjes Club’, ‘Driehoek Club’, yaitu perkumpulan bagi pemudi yang dipimpin oleh Nona J. Reinders, seorang guru di Christelijke HCS, ‘Tri Dharma’, yaitu perkumpulan bagi pemuda, dan ‘Clubjes van Vijf’, yaitu sebuah pola Pemahaman Alkitab yang diperkenalkan oleh Dr. J. H. Bavinck. Kesemuanya itu bertujuan untuk mengembangkan kehidupan jemaat. Khusus berkaitan denga gerakan wanita, pada tahun 1946, kaum ibu menghidupkan lagi organisasi yang ditutup pada jaman Jepang dengan nama Chung Hua Chi Tu Chiao Fu Nu Hui (Perkumpulan Wanita Kristen Tinghoa), dengan ketuanya Ny. Tjoa Ting Tjioe. Pada masa itu banyak kegiatan wanita yang diadakan di samping pamahaman Alkitab, salah satunya mendirikan Sekolah Taman Kanak-Kanak yang kemudian diserahkan kepada Yayasan Sekolah-Sekolah Kristen. Pada tahun 1951, perkumpulan wanita tersebut mengambil prakarsa untuk menerbitkan majalah “Maria Marta’, yang hingga kini dikelola oleh Ibu Gan Koen San, di Semarang.
Selanjutnya, guru Injil Kwee Tiang Hoe ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 18 Desember 1940 dan kemudian disusul oleh para pembantu pendeta pada diri Sdr. Siem Tjien Hie, Sdr. Lie Tik Bie dan Sdr. Tan Po Djwan (Paulus Tanoewidjaja). Sdr. The Tjiauw Bian (Johanes Purwosuwito) selanjutnya ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 7 Oktober 1947. Disusul kemudian Sdr. Go Hian Sing (Sam Gosana) dipanggil sebagai guru Injil per 1 April 1947 dan ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 22 Maret 1950.
Berkaitan dengan kehidupan jemaat, pada tanggal 11 November 1945 terjadi konflik gelas besar dan gelas kecil perjamuan kudus, sehingga sekelompok anggota jemaat membentuk jemaat sendiri yang kemudian dikenal dengan Gereja Jayengan dan kemudian didewasakan menjadi Tiong Hoa Kie Kauw Hwee (THKTKH) Coyudan Solo pada tanggal 24 Agustus 1948. Perayaan perjamuan Kudus di tengah jemaat KTKH Sangkrah pun pada tahun 1957 diubah menjadi tidak lagi satu gelas besar untuk seluruh jemaat, melainkan 6 (enam) gelas. Kemudian pada tahun 1959, melalui referendum dihasilkan keputusan untuk menggunakan gelas-gelas kecil. Hikmah dari peristiwa di atas adalah bahwa Tuhan berkuasa mengubah peristiwa yang tidak baik menjadi alat untuk memperluas pelayanan pekerjaan-Nya melalui munculnya jemaat baru. Selanjutnya pemberitaan Injil juga dilakukan ke kota-kota lain, antara lain ke Sragen (1945), Kedungbanteng (1947), Wonogiri (1943), Kartasura dan Klaten. Namun demikian karena keadaan maka pelayanan ke kota-kota tersebut kecuali pelayanan yang dilaksanakan oleh Bpk. Mangunsusanto.
Pertumbuhan jumlah anggota jemaat mendorong untuk memanggil pengerja baru yaitu Sdr. Lie Ping Siang pada tanggal 1 Juni 1955 dan melayani hingga 1 Mei 1957. Disusul Sdr. Tan Tjioe Liang (Johanes Tjahjaputra) pada tanggal 1 Agustus 1955 dan Sdr. Oei Djie Kong (N.E. Jeshua) dari GKI Purwokerto pada tanggal 1 September 1957, di mana keduanya ditahbiskan pada tanggal 2 Februari 1962. Sepuluh tahun kemudian, Sdr. Herodion Pitrakarya Gunawan dipanggil untuk melayani jemaat mulai Januari 1972 hingga 1 Oktober 1972 dan Sdr. John Augustinus Prajogo pada tanggal 1 Januari 1972, yang ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 28 Agustus 1980. Disusul Sdr. Agustinus Kermite yang dipanggil pada tanggal 1 Maret 1980 dan ditahbiskan pada tanggal 15 Februari 1983. Pada tanggal 17 April 1985 ditahbiskan Pdt. Yosef P. Widyatmadja. Kemudian Sdri. Tri Yeni Sulistiani melayani sejak tanggal 1 Juli 1986 hingga 30 Juni 1989 dan Sdr. Mungki Aditya Sasmita dipanggil pada tanggal 1 Juli 1991 dan ditahbiskan pada tanggal 17 Februari 1994.
Di samping penambahan di atas, jemaat GKI Sangkrah juga mengalami pengurangan pendeta. Pdt. J. Tjahjaputra dipanggil oleh Sinode GKI Jateng sebagai pendeta tugas khusus di Lembaga Pendidikan Kader GKI-GKJ Jateng di Yogyakarta sejak tahun 1969 dan Pdt. Johanes Purwosuwito memasuki masa emeritasinya pada tanggal 25 Desember 1971, disusul oleh Pdt. N. E. Jeshua juga memasuki masa emeritasinya pada tanggal 1 Juni 1985. Selain itu, terjadi peristiwa duka cita berkaitan dengan dipanggil pulangnya ke rumah Bapa yang kekal Pdt. J. A. Prajogo di Perth, Australia, pada tanggal 24 November 1995.
Berkaitan dengan gedung gereja, pada bulan September 1938 jemaat memperoleh tanah seluas 558 m2 di Sangkrah Kelurahan Kedunglumbu, Kecamatan Pasar Kliwon dari ‘Commissie van Beheer der Europese Begraafplaatsen’. Kemudian, peletakan batu pertama pembangunan gedung gereja dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1939 oleh Ibu Jo Kiem Hok dan selesai pada tanggal 22 Desember 1939. Sayang, Perang Dunia II menghancurkan gedung tersebut yang baru beberapa bulan saja dipergunakan. Setelah gedung itu belasan tahun kemudian dibangun kembali, pada tanggal 16 Maret 1966, sekali lagi gedung gereja hancur diterjang banjir, yang memporak-porandakan isinya dan membenamkan ¾ bagiannya. Selanjutnya, dilakukan renovasi dan penambahan bangunan serta ditingkatkan pada tahun 1973, bahkan atas berkat Tuhan, pada tanggal 26 November 1988 jemaat memperoleh tambahan tanah di sebelah Timur gedung gereja yang lama seluas 1.007 m2. Sejak waktu itu, digalakkan pembangunan gedung gereja yang baru, di mana peletakkan batu pertama oleh Bpk. Walikota R. Hartomo pada tanggal 27 Oktober 1989. Kendati tersendat-sendat, pada akhirnya gedung itu dapat diresmikan penggunaannya pada tanggal 26 Oktober 1991, menjelang peringatan HUT ke-58 GKI Sangkrah Solo pada tanggal 27 Oktober 1991.
Berkaitan dengan kehidupan jemaat, ternyata pernah muncul konflik dalam tubuh kemajelisan, sehingga beberapa anggota Majelis Jemaat yang tidak puas membentuk jemat sendiri dengan menginduk ke GKI Coyudan. Awalnya, sekelompok anggota jemaat ini hanya mengadakan perayaan Natal pada tahun 1970, yang kemudian disusul dengan kebaktian Minggu, yang dimulai pada tanggal 3 Januari 1971. Setelah melalui proses yang panjang dalam persidangan Klasis Yogya, akhirnya disepakati untuk mendewasakan cabang jemaat ini dengan nama ‘GKI Sorogenen’, yang berada di Jl. Ir. Juanda 51, pada tanggal 30 Mei 1978.
Berikut ini beberapa pelayanan pos PI yang kemudian berkembang menjadi Bajem-Bajem baru :
- Bajem Wonosaren, yang terletak di daerah Jagalan, bermula dari diadakannya kursus kristik, songket, sulam dan lain-lain, secara gratis untuk para ibu dengan kesempatan mengikuti persekutuan penginjilan, di rumah keluarga Tjandra Nugraha, Jl. Jagalan 101, pada tahun 1969. Kemudian, tempat persekutuan itu dipindah ke rumah keluarga Ibu Purwo Sumarto dan dilayani oleh Ibu Sindu Rahardjo, Ibu Kusmanto dan Ibu Susilo Winarno. Persekutuan ini berkembang sehingga dibentuk kelompok katekisasi, yang berhasil diikuti sampai selesai oleh 10 orang dan mereka dibaptis pada tanggal 19 mei 1971. Selain itu, dibentuk kelompok pemahaman Alkitab dan kelas Sekolah Minggu, bahkan sejak 4 Agustus 1985 diadakan kebaktian di rumah Ibu Marto Darsono yang dihadiri oleh sekitar 45 orang. Sejak saat itu kebaktian berlangsung rutin dan pada tanggal 14 September 1986 dibentuk Paniti Bajem Wonosaren dengan susunan sebagai berikut : Bpk. Hadi Subroto (Ketua), Sdr. Sardjono (Penulis I), Sdr. Untung nanik (Penulis II), Ibu Purwo Sumarto (BendaharaI) dan Bpk. S. Hanani (Bendahara II). Sejak tanggal 4 Dsember 1988, kebaktian Minggu berlangsung di Jl. Wonosaren 21 dengan jumlah pengunjung mencapai 100 orang dewasa dan 75 orang anak Sekolah Minggu.
- Boyolali dimulai pada tahun 1966 ketika GKI Sangkrah membuka Pos PI-nya di Boyolali dengan bertempat di rumah Bpk. Singgih Sanjoyo, Jl. Merbabu 5. Kebaktian secara rutin dipimpin oleh Pdt. J. Tjahjaputra dan dihadiri oleh sekitar 15 orang. Kemudian, pada tahun 1987, tempat kebaktiannya dipindahkan ke rumah Bpk. Oei Kiem Ting, Jl. Merbabu 42, sampai tanggal 21 November 1989, dimana tempat kebaktian dipindahkan lagi ke gedung gereja di Gg. Singosaren. Pada waktu itu, pengunjung kebaktian telah berkembang menjadi sekitar 60 orang. Untuk kegiatan Sekolah Minggu yang mengalami kesukaran dalam pertumbuhannya sejak tahun 1966, maka pelayanannya diserahkan kepada para guru Sekolah Minggu dari Boyolali sendiri, sedangkan Komisi Sekolah Minggu dari Solo hanya membantu penataran untuk para guru Sekolah Minggu dari Boyolali. Sementara itu, perhatian Majelis Jemaat GKI Sangkrah terhadap Bajem Boyolali dinampakkan dalam bentuk kehadiran Pdt. Agus Wiyanto, yang ditahbiskan pada tanggal 20 Maret 1996, untuk mengembangkan pelayanan penggembalaan, khususnya kepada jemaat Bajem Boyolali.
- Bajem Randusari Ampel pada awalnya dirintis oleh Bpk. Markus Hadi Priyanto (Tjioe Boen Jang), mantan penatua GKI Coyudan, yang mengadakan perayaan Natal dan Tahun Baru bersama keluarga istrinya pada tanggal 31 Desember 1979. Perayaan Natal dan Tahun Baru tersebut dilayani oleh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Ampel. Ternyata peristiwa itu disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah dusun Randusari, Desa Payungan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Karena itu, sejak Januari 1980, diadakan kebaktian setiap hari Minggu di desa tersebut, yang dihadiri oleh sekitar 20 orang dan dilayani secara bergiliran oleh GKI, GBIS, GBI dan GSJA. Berikutnya, jemaat ini disetujui untuk bergabung dengan Gereja Kristen Alkitab Indonesia (GKAI), bahkan ditempatkan di sana Bpk. Yakub Daliman, seorang mahasiswa praktik dari Seminari Theologia Injili Indonesia untuk menjadi gembala jemaatnya yang pertama. Setelah Bpk. Yakub Daliman lulus, beliau diberi status sebagai tenaga Church Planting sesuai dengan program STII. Selanjutnya, dalam kerja sama dengan Bpk. Markus Hadi Priyanto, dikembangkan pelayanan ke daerah-daerah lain di Kecamatan Ampel, yakni Dukuh Tuwan Kulon Desa Selodoko, Sambengan Desa Candi dan Gondang Slamet. Mereka berhasil mendirikan gedung gereja yang baru di Randusari seluas 20 x 7 m2, selesai 50 % dan di Plambang seluas 12 x 7 m2 yang sudah selesai 100 %.
tahun 1986 Bpk. Yakub daliman dipanggil pulang ke rumah Bapa yang kekal dan jemaat tersebut mengalami kekosongan pengerja. Namun demikian, syukur kepada Tuhan bahwa pelayanan yang rutin oleh jemaat GKI Sangkrah membuahkan tuaian yang besar, karena pada tanggal 6 November 1988 dilakukan sakramen baptis untuk 87 orang dan sidi untuk 18 orang, yang dilayani serempak oleh Pdt. J. A. Prajogo, Pdt. S. Tandiowidagdo dan Pdt. Yosef P. Widyatmadja. Perkembangan berikutnya peresmian Pos PI Randusari sebagai Bajem Randusari terlaksana pada tanggal 21 September 1991.
Pendewasaan
27 Oktober 1933Jadwal ibadah
Umum | 06.30; 09.00; 17.00 |
Kontak
- Jl. Demangan 2, Surakarta - 57135
- Telp : (0271) 647286 Fax : (0271) 643196 HP : 08885676328
- majelisjemaatgkisangkrah@gmail.com
- http://www.gkisangkrah.org
Statistik Anggota Jemaat
Sidi | Baptisan | ||
---|---|---|---|
Pria | Wanita | Pria | Wanita |
1167 | 1721 | ||
Total anggota jemaat | 2888 |
Pos
- -