Mazmur 62:2 (Hanya dekat Allah saja aku tennag, dari pada-Nyalah keselamatanku)
Dalam perjalanan pulang dari jakarta, saya menaiki sebuah pesawat. Tiba-tiba pesawat bergoyang dan tak berapa lama ada pengumuman yang mengatakan cuaca buruk, semua penumpang diminta untuk mengenakan sabuk pengaman. Suasana menjadi agak mencekam karena lampu dimatikan dan goncangan semakin kuat. Para penumpang tampak ketakutan. Ada yang berdoa, ada yang berpegangan tangan, dan sebagainya. Menarik di tengah situasi yang seperti itu, ada seorang anak yang duduk dengan tenang dan melihat keluar jendela. Dalam hati saya mengatakan: anak ini sama sekali tidak takut, mungkin dia mengira sedang main kora-kora atau halilintar.
Setelah pesawat kembali tenang, saya bertanya kepada anak itu:”hai, dik, ketika pesawat ini bergoncang, kamu tenang sekali. Kamu tidak takut?” Dengan cepat anak ini menggelengkan kepalanya. Sekali lagi saya bertanya:”tidak takut?” Jawabnya:”kenapa harus takut? Pilot pesawat ini adalah ayahku. Dia pasti membawaku dengan selamat.”Jawaban anak itu, mengejutkan dan membuat saya berefleksi, bukankah hidup yang kita jalani di dunia ini kadang seperti perjalananan pesawat dari jakarta ke yogya. Kadang berjalan dengan tenang karena cuaca baik dan cerah. Kadang bergoyang atau bergetar karena cuaca buruk. Bahkan mengalami turbulensi. Pertanyaannya: sikap seperti apa yang kita tunjukkan? Saudaraku, Tidak jarang sikap yang kita tunjukkan seperti penumpang pesawat pada umumnya, termasuk saya: takut dan kuatir. Dan hal ini adalah wajar. Siapa yang tidak takut kalau pesawat bergoncang karena cuaca buruk. Siapa yang tidak takut kalau terjadi sesuatu pada pesawat yang dinaiki. Kita berfokus pada betapa besar gelombang yang menerpa dan kita tak punya kemampuan untuk mengatasi atau mengendalikannya.
Tetapi anak kecil dalam pesawat itu, menunjukkan sikap yang berbeda. Ia melihat ada ayahnya yang sanggup mengendalikan pesawat yang tergoncang itu. Ada ayahnya yang akan membawanya kembali dengan selamat. Saudara, ini juga yang dialami oleh Daud. Ia pernah ada dalam goncangan hidup. Ia sangat takut dan sedih karena Absalom adalah anak yang disayanginya ingin merebut kekuasaannya. Rasa takut itu, membuat Daud melarikan diri. Di tengah pelariannya itu, Daud menemukan Allah yang dia percayai adalah gunung baru (lambang kekuatan) dan kota benteng (lambang pertahanan dan tempat berlindung). Allah itu sumber kekuatan, ketenangan, perlindungan baginya. Karena itu, Daud mengatakan Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padaNya keselamatanku.
Saudaraku, di tengah pergumulan hidup yang kita alami saat ini, adakah kita juga menemukan Allah adalah sumber kekuatan dan perlindungan kita? Adakah kita juga menemukan bahwa Allah yang memegang kendali seluruh hidup kita? Adakah kita juga memiliki keyakinan bahwa Allah sanggup mengendalikan badai dan bahkan membawa kita dengan selamat melewati badai ini?
Mari kita buka hati, agar kita berjumpa dengan Allah yang menjadi gunung batu dan benteng pertahanan sehingga kita dapat berkata hanya dekat Allah saja, aku tenang, daripadaNya keselamatanku.