Yeremia 31:3
Seorang gembala yang memiliki 100 domba, menceritakan pengalamannya sebagai seorang gembala. Kawanan domba sangat senang jika dibawa ke padang rumput hijau. Mereka dapat berlari ke sana kemari, menyantap rumput yang segar dan bila mereka haus, mereka tinggal minum air sungai yang letaknya tidak jauh dari padang rumput. Dari 100 ekor domba yang dimilikinya, ada seekor domba yang biasanya dipanggil putih yang paling nakal karena sering menjauhi padang rumput. Setiap sang gembala berteriak “Putih, jangan bemain terlalu jauh, nanti serigala menerkammu” si putih justru makin jauh berlari. Dan setiap kali si putih dituntun kembali ke padang rumput oleh sang gembala, ia selalu marah. “Gembala cerewet, harus begini, harus begitu, tidak boelh ke sana, jangan jauh-jauh kalau bemain. Bawel,” kata si putih.
Suatu hari, ketika mereka dipadang rumput, si putih kembali berulah. Dia lari menjauh dari kawanan domba-domba lainnya. Kali ini sang gembala membiarkan. “Biarlah hari ini, Putih melakukan apa yang dikehendakinya.” Pikirnya. Karena tidak dilarang oleh sang gembala, si putih berlari makin jauh. Dia masuk hutan, tersesat dan kakinya terlilit akar pohon sehingga si putih tidak dapat bergerak. Tanpa disadari seorang pemburu sedang membidiknya dengan sebuah senapan. Dengan hitungan detik, pemburu berhasil menembak kaki si putih. Suara tembakan itu terdengar oleh si gembala dan kawanan domba. Dengan perasaan takut dan panik yang menyelimuti hati, sang gembala berlari mencari si putih di tengah hutan. Ia berharap bukan si putih yang tertembak. Akhirnya gembala menemukan si putih dakam keadaan tak berdaya. Kakinya berdarah. Segera sang gembala menggendong si putih dan membawanya pulang. Dengan kesabaran dan ketekunan sang gembala menjaga dan merawat si putih hingga ia sembuh.
Suatu hari, karena rasa bosan, si putih berlari menuju hutan. Dengan sigap, sang gembala menangkap si putih dengan tongkatnya dan mematahkan salah satu kakinya. “Aduh……aduh……sakit,”teiak si putih. “Hai gembala mengapa engkau mematahkan kakiku….engkau gembala yang jahat!” Seru si putih. Dengan kaki pincang, si putih kembali ke kandang. “Pergi kau, aku tidak mau dekat-dekat dengan orang jahat.” Kata si putih dalam kemarahan. Malamnya, ketika sang gembala memberi seikat rumput segar, dengan kasar si putih menolak, “pergi, aku tidak mau melihatmu. Aku tidak mau makan. Biar aku mati saja.” Dengan mata berkaca-kaca gembala itu berkata:” kalau kau tidak mau makan, kau akan sakit. Aku tahu kau marah karena aku sudha mrmathakan salah satu kakimu. Tetapi tahukah engkau kalau hal itu aku lakukan karena aku sayang kepadamu.” “Mematahkan kakiku, kau bilang sayang. Timpal si putih. “Aku lebih senang jika kakimu patah karena dengan demikian engkau tidak dapat lari jauh dariku. Engkau akan selalu dekat denganku. Kita punya cukup banyak waktu untuk bemain bersama, aku aman menggendongmu, membelai bulumu yang halus, dan yang terpenting engkau tidak akan dicelakai oleh siapapun.” Kata si gembala. Si putih terdiam. “Tuan, maafkan aku. Engau memang gembalaku yang baik. Engkau selalu menjagaku dari serangan binatang buas, menghibur kala aku sedih, menggendongku dengan penuhh kehangatan bila aku takut, menyediakan makanan yang terbaik bagiku. Sesungguhnya aku aman bersamamu. Aku tidak takut bila engkau bersamaku.” Kata si putih. Si gembala menggendong dan membelai si putih. Sejak saat itu, si putih tidak lagi main di hutan. Ia lebih senang bemain dan bercengkerama dengan sang grmbala.
Saudaraku, membaca kisah gembala dan si putih, saya segera berkata “si putih itu kayak aku dihadapan Tuhan. Bandel, gak pernah nurut, sesuka hati. Marah jika keinginan atau kesenanganku diganggu. Menyalahkan ketika hal yang buruk menimpaku.” Aku sulit melihat rancangan Tuhan yang baik dalam hidupku. Sementara di sisi yang lain, Tuhan seperti sang gembala, yang baik, sabar, penuh cinta bahkan mengupayakan memberi yang terbaik, saat kita melukai hatiNya. Tak berkurang kasihNya walaupun kita berlaku semena-mena. Seperti yang diungkapkan dalam Yeremia 31:3 “Dari jauh Tuhan menampakan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.”
Pertanyaan bagi kita adakah kita merasakan kasih Tuhan yang besar dalam hidup kita,sehingga kita dengar rela hati mengasihi dan hidup dalam kehendakNya?